Suatu hari Dewabrata bertanya kepada ayahnya: “yahanda memiliki semua yang mungkin diinginkan orang. Tetapi, mengapa ayahanda tampak sedemikian murung? Sepertinya, ayahanda menyimpan rahasia yang menyesakkan hati.”
Prabu Sentanu menjawab: “Anakku, apa yang kau katakan benar. Ayahanda memang tersiksa perasan gundah-gulana. Engkau adalah anakku satu-satunya dan kau selalu sibuk dengan urusan keprajuritan. Hidup di dunia ini penuh dengan ketidakpastian dan selalu saja ada perang. Jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi padamu, garis keturunan keluarga kita akan putus, punah. Tentu saja, engkau sebanding dengan seratus anak. Namun demikian, para tetua cendekiawan mengatakan bahwa hidup di mayapada, dunia ini, punya satu anak sama artinya tidak punya anak sama sekali. Sungguh sayang, kelangsungan keluarga kita tergantung pada seorang anak saja. Sebenarnya, ayahanda memikirkan kelangsungan garis keturunan keluarga kita. Inilah yang menyebabkan ayah berduka.” Sang ayah berusaha menututp-nutupi apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa malu pada anaknya.
Dewabrata yakin pasti ada alasan rahasia yang mengganggu ketenangan hati ayahnya. Kemudian, ia bertanya keapada sais kereta ayahnya. Barulah ia tahu tentang pertemuan sang ayah dengan seorang gadis penangkap ikan di pinggiran sungai Yamuna. Kemusian, ia pergi kepada kepala nelayan itu dan meminang anak gadisnya demi sang ayah.
Kepala nelayan itu menerimanya dengan hormat, tapi tetap bersikukuh dengan syaratnya: “sebenarnya anak gadis hamba pantas menjadi permaisuri ayahanda paduka. Oleh karena itu, bukankah wajar jika anak lelakinya kelak akan menggantikannya menjadi raja? Tapi paduka telah dinobatkan sebagai putr mahkota dan dengan demikian akan menggantikannya. Inilah masalahnya.”
Jawab Dewabrata: “Baiklah, tolong ingat baik-baik kata-kataku, anak lelaki yang dilahirkan anak gadismu akan dinobatkan menjadi raja. Aku rela tidak naik tahta demi keinginan ayahanda untuk melanjutkan garis keturunan keluarga.” Kemudian, Dewabrata mulai mengucapkan sumpahnya.
Setelah itu, kepala nelayan tersebut berucap, “Wahai , putra mahkota yang paling bijaksana di antara semua keturunan Bharata, tuan telah melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh para pewaris tahta sampai saat ini. Tuan memang seorang pahlawan. Silakan tuan membawa anak gadis hamba untuk diperistri ayahanda tuanku. Namun demiian, mohon tuanku terus mendengarkan dengan sabar kata-kata hamba ini sebagai ayah anak gadisku. Hamba yakin tuanku akan menepati janji. Tapi, apa yang dapat hamba gunakan untuk menguatkan harapan bahwa anak keturunan tuanku tidak akan menuntut hak mereaka? Keturunan tuanku pasti akan menjadi pahlawan-pahlawan besar, seperti tuanku. Pasti akan sulit untuk menolak jika mereka berusaha merebut kerajaan dengan paksa. Inilah permasalahan yang mengganggu pikiran hamba.”
Mendengar pertanyaan sangat sulit yang diajukan ayah gadis pujaan ayahandanya, Dewabrata, yang memutuskan untuk meninggalkan keinginan duniawi demi keinginan ayahandanya, mengucapkan sumpah pamungkas. Ia bersumpah di hadapan ayah anak gadis itu: “Aku berjanji tidak akan kawin dan akan menjalani kesucian sepanjang hidupku.” Ketika Dewabrata mengucapkan sumpah sucinya, para dewa menaburkan bunga-bunga semerbak di atas kepalanya dan terdengar suara-suara yang mengelu-elukan, “Bhisma…. Bhisma… Bhisma… “ Sejak saat itu, Dewabrata dikenal sebagai Bhisma. Demikianlah, putra Batari Gangga memboyong Setyawati ke Hastinapura untuk ayahandanya.
Dari perkawinan dengan Setyawati, raja Sentanu mendapatkan dua putra, Chitrangada dan Wicitrawirya. Wicitrawirya menjadi raja menggantikan saudaranya. Wicitrawirya mempunyai dua anak, Destarata dan Pandu, dari kedua permaisuri, Ambika dan Ambalika. Anak Destarata yang berjumlah seratus dikenal sebagai Kurawa. Pandu mempunyai lima anak yang dikenal sebagai pandawa.
Bhisma menjalani kehidupan yang p-anjang. Ia dihormati sebagai sesepuh keluarga sampai perang besar di medan Kurusetra.
Bersambung ke AMBA DAN BHISMA (bag. 1 )
sumber: C. Rajagopalachari, 2009, Mahabharata Sebuah Roman Epik Pencerah Jiwa Manusia, IRCisoD: Jogjakarta.
No comments:
Post a Comment