“Wahai Raja yang Agung, “ jawab Dewi Gangga, “Engkau telah melanggar janjimu padaku. Hatimu telah tertambat pada anak ini. Berarti engkau tidak membutuhkanku lagi, aku akan pergi. Baiklah aku tidak akan membunuh anak ini. Sebelum menghakimiku, dengarkan penjelasanku dulu. Sebenarnya aku adalah Batari Gangga yang dipuja para dewa dan manusia. Aku terpaksa memainkan lakon yang kejam ini karena kutuk resi Wasistha. Resi Wasistha mengutuk delapan wasu sehingga terlahir di dunia manusia. Mereka kemudian memohon kesediaanku untuk menjadi ibu mereka. Dengan perkenanmu, aku melahirkan mereka ke dunia. Sebagai balas budi telah menolong mereka, kelak engkau akan mencapai tempat yang lebih tingi di alam baka. Aku akan membawa anak bungsumu dan membesarkannya. Kelak, aku akan menyerahkan kembali anak ini sebagai pemberianku kepadamu.” Setelah berkata demikian, Batari Gangga menghilang bersama bayi itu. Kelak bayi ini akan dikenal sebagai Bhisma.
Beginilah, kisah mengapa kedelapan wasu terkena kutuk resi Eawistha: sutau hari mereka pergi berjalan-jalan di pegunungan bersama dengan istri-istri mereka. Di pegunungan itu terdapat pertapaan resi Wasistha. Salah satu dari mereka melihat sapi resi Wasistha, Nandini, sedang merumput. Keelokan Nandini sunggauh memukau dan iapun berseru kepada para istri. Mereka semua terpesona pada binatang yang mengagumkan itu. Lalu, salah satu istri meminta kepada suaminya untuk menangkap sapi tersebut.
Si suami yang diminta, menjawab: “Apa gunanya sapi itu bagi kita, para dewa? Sapi tiu kepunyaan resi Wasistha, penguasa wilayah ini. Manusia akan manusia akan menjadi abadi jika minum susu sapi itu, tapi apa gunanya bagi kita, yang telah ditakdirkan hidup abadi. Lagi pula, kita akan celaka jika resi Wasistha murka hanya karena memperturutkan hasrat dan kesenangan?”
Tapi sang istri tidak peduli. Katanya, “ Aku punya teman terkasih. Ia manusia biasa. Demi dialah, aku memintamu mengambil sapi itu. Sebelum resi Wasistha kembali, kita telah pergi jauh membawa sapi itu. Demi aku, penuhilah keinginanku ini. Ini sangat berarti bagiku.” Akhirnya, suaminya menurut. Kedelapan atau wasu itu bersama-sama menangkap Nandini dan anaknya, lalu mereka melarikan jauh-jauh.
Ketika kembali ke pertapaan, resi wasistha tidak menemukan Nandini dan anaknya. Sapi tiu sangat dibutuhkan untuk upacara persembahan hariannya. Berkat kekuatan yoga, resi Wasistha segera tahu apa yang telah terjadi. Ia amat murka dan mengucapkan kutuk atas para wasu. Resi, yang telah meninggalkan keduniawian dan hanyamemikirkan masalah ruhani, mengutuk para wasu akan terlahir ke dunia manusia. Ketika menyadari bahwa mereka terkena kutuk –penyesalan selalu datang terlambat—para wasu segera bersimpuh di hadapan resi Wasistha untuk mohon belas kasih dan ampunan atas kesalahan mereka.
Berlanjut ke: DEWABRATA ( bag. 3 )
dari: C. Rajagopalachari, 2009, Mahabharata Sebuah Roman Epik Pencera Jiwa Manusia, IRCisoD: Jogjakarta.
No comments:
Post a Comment